Kamis, 13 Maret 2008


Sekolah Gratis, jangan Diskriminatif



Rencana sekolah gratis di Kota Semarang yang akan diberlakukan pada tahun pelajaran 2008/2009 disinyalir akan membuat sekolah-sekolah swasta semakin terpuruk. Padahal sumbangasih sekolah swasta dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsa melalui jalur pendidikan formal, sangat besar. Sebagai salah satu bukti sebut saja perbandingan antara sekolah swasta dan sekolah negeri di kota Semarang. Di kota ini jumlah SMP negeri cuma 40 buah, sedangkan SMP swasta mencapai 120 buah. Untuk tingkat SLTA, jumlah SMA negeri 25 buah sedangkan SMA swasta mencapai 80 buah.
Menyingkapi rencana tersebut, Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BPMS) Kota Semarang. Drs H Ragil Wiratno MH mengungkapkan pendapatnya dalam wawancara sebagai berikut:

Apakah Bapak setuju dengan adanya sekolah gratis ?
Saya sangat setuju dengan rencana sekolah gratis, sebab hal tersebut sesuai dengan amanah UUD’45. Di mana pada pasal 31 ayat 2 UUD’45 yang sudah diamandemenkan disebutkan bahwa pemerintah wajib membiayai pendidikan wajar 9 tahun (SD-SMP). Dengan demikian semua siswa SD sampai SMP tidak dipungut biaya sekolah, sebab semua biaya sudah ditanggung oleh pemerintah.

Bagaimana pendapat Bapak tentang rencana Pemerintah Kota Semarang soal sekolah gratis?
Menurut informasi yang saya terima, yang digratiskan pemkot Semarang itu hanya siswa SD dan SMP Negeri. Sedangkan siswa SD-SMP swasta hanya diberi subsidi, bukan digratiskan. Kalau programnya demikian, berarti terjadi diskriminasi. Padahal UUD’45 sudah mengamanatkan semua siswa SD-SMP dibiayai pemerintah tanpa membedakan sekolah negeri atau swasta. Kalau Pemkot Semarang bersikukuh membeda-bedakan siswa negeri dan swasta, sama saja Pemkot melanggar UU.

Bagaimana idealnya gagasan sekolah gratis itu diterapkan di Kota Semarang?
Idealnya program sekolah gratis itu mengacu Pasal 31 Ayat 2 UUD’45 yang sudah diamandemen. Di sana sudah disebutkan pemerintah wajib membiayai program Wajar 9 tahun. Artinya seluruh siswa SD-SMP negeri dan swasta harus dibebaskan dari biaya pendidikan (gratis). Sebab seluruh biaya pendidikan yang terdiri atas komponen gaji guru/karyawan, pembangunan sarana/prasarana, dan baiaya operasional ditanggung oleh pemerintah. Sementara ini yang terjadi siswa swasta menanggung semua biaya pendidikan, mulai gaji guru/karyawan, sarana/prasarana sampai biaya operasional. Sedangkan siswa negeri cuma ditarik iuran (SPP) untuk membiayai ongkos komponen operasional, sebab gaji guru/karyawan dan sarana/prasarana sdah dibaiaya pemerintah. Namun apabila pemerintah tidak mampu membiaya seluruh biaya pendidikan, maka pelaksanaan sekolah gratis harus dipila-pilah. Cara memilahnya juga harus berkeadilan antara negeri dan swasta. Misalnya program sekolah gratis untuk sementara diperuntukan bagi siswa dari keluarga kurang mampu (sekolah negeri mapun swasta). Sedangkan siswa dari keluarga mampu diberi subsidi. Jadi pemetaannya tidak berdasarkan sekolah (membedakan negeri dan swasta), tetapi berdasarkan kondisi ekonomi siswa (tanpa membedakan sekolah negeri atau swasta).

Dampak kebijaksanaan sekolah gratis itu diperkirakan akan membuat sekolah swasta dirugikan. Apa saja yang akan dilakukan oleh BMPS Semarang untuk mengantisipasi hal ini?
Kalau program sekolah gratis itu bersifat diskriminatif jelas akan merugikan sekolah swasta. Maka BMPS akan terus melakukan pencerahan kepada DPRD dan Pemkot Semarang agar pelaksanaan sekolah gratis benar-benar dilaksanakan secara berkeadilan. Kalau pelaksanaannya tidak berkeadilan BMPS akan menyatakan keberatannya. Nah sikap BMPS akan ditentukan dikemudian hari sambil menunggu perkembangan selanjutnya. Sebab info soal sekolah gratis hingga sekarang masih simpang siur.

Apa upaya sekolah swasta agar tidak terkena dampak dari sekolah gratis?
Yang jelas Pemkot Semarang harus benar-benar bijaksana. Jangan sampai program sekolah gratis justru mematikan atau semakin meminggirkan sekolah swasta. Di sisi lain, kami tetap menghimbau sekolah swasta agar terus meningkatkan profesionalisme. Dengan profesionalisme sekolah swasta diharapkan akan terus meningkat kualitasnya. Kalau sekolah swasta semakin berkualitas mereka tidak bakal rentan menghadapi berbagai pengaruh dari luar.
Alhamdulillah, belakangan semakin banyak sekolah swasta yang berkualitas sangat baik meski di sisi lain jumlah sekolah swasta yang kurang berkualitas masih banyak. Sekolah swasta yang kurang berkualitas disebabkan kemampuan yayasan terbatas, dan dukungan wali murid juga kurang maksimal. Sebab siswanya banyak berasal dari keluarga kurang mampu. Justru disinilah dituntut peran pemerintah untuk memberikan bantuan.

Apa dampak positif diadakannya sekolah gratis?
Dampak positifnya sangat besar, asal progam itu dikelola secara benar dan direspon baik oleh warga sekolah. Misalnya dengan sekolah gratis, berarti tidak ada halangan lagi bagi anak-anak keluarga kurang mampu untuk menimba ilmu di sekolah formal. Dari segi pemerataan, maka akses mendapatkan pendidikan sudah tercukupi. Sementara sekolah-sekolah yang sudah eksis, terutama sekolah negeri harus berlomba-lomba meningkatkan kualitas. Peran serta wali murid yang berkecukupan (kaya) bias diarahkan untuk memberikan bantuan sukarela. Dana bantuan itulah yang bisa diarahkan untuk menopang upaya peningkatan mutu pendidikan. Komite sekolah juga harus ikut mensejahterakan sekolah. Jangan cuma pandai “meminta” uang dari wali murid, tetapi harus pandai mencari dana dari pihak ketiga untuk menopang pembiayaan sekolah yang mandiri.

Apa saran-saran bapak untuk program sekolah yang akan datang?
Program sekolah yang akan datang tetap memacu terhadap kebutuhan dasar kita: yakni tentang pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan. Sekolah-sekolah negeri yang seluruh biayanya ditanggung pemerintah harus bias memberikan teladan dalam upaya peningkatan mutu. Tapi kalau sampai sekarang jumlah siswa SMP dan SMA negeri masih tetap 40 -50 siswa/kelas, bagaimana upaya peningkatan mutu bisa tercapai? Padahal SPM (Standar Pelayanan Minimal) sudah mensyaratkan jumlah siswa SD maksimal 28 siswa/kelas, SMP dan SMA maksimal 32 siswa/kelas. Sementara sekolah swasta justru lebih progresif. Misalnya Yayasan Pendidikan Islam Nasima sudah memperkenalkan kelas kecil yang efektif, SMP dan SMA maksimal 28-30 siswa/kelas.

Apakah ada unsur-unsur politik atau tidak dalam penggratisan sekolah?
Suara-suara yang saya dengar sih demikian. Ada yang menuduh program sekolah gratis di kota Semarang dikait-kaitkan dengan propaganda menjelang Pilgub 2008. Tapi saya tidak pernah berprasangka buruk terhadap orang lain. Bahkan silahkan pendidikan dijadikan obyek politisasi apa pun, asalkan menguntungkan pendidikan, dan dilakukan berdasarkan hokum yang benar. Bagi saya tidak masalah. Namun kalau pelaksanaannya melanggar hokum, ya perlu kita lawan.

Minggu, 09 Maret 2008

PRO KONTRA SEKOLAH GRATIS

Di tengah semakin melambungnya biaya pendidikan, pemerintah kota Semarang mengumumkan sebuah rencana hebat, yakni program sekolah gratis untuk sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah pertama. Rencana ini, serta merta mendapat sambutan dari masyarakat. Banyak yang optimis program tersebut dapat menjadi embun penyejuk dahaga. Namun ada yang pesimis menganggap program tersebut sebagai sekadar fatamorgana di padang gersang belaka.

Menurut Achmadi, Ketua Komisi D DPRD Kota Semarang, rencana kebijakan sekolah gratis yang akan berlaku mulai tahun pelajaran 2008/2009, tidak hanya berlaku untuk sekolah negeri. Tetapi pada saat yang sama, sekolah swasta juga akan memperoleh subsidi dari APBD 2008. Pemberlakuan sekolah gratis untuk negeri dan subsidi untuk swasta itu merupakan hasil keputusan panitia anggaran (panggar), yang membahas Kebijakan Umum Anggaran-Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS).

Menurutnya, pendidikan adalah hak dasar warga negara dan merupakan kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakannya. Sehingga rencana sekolah gratis diharapkan dapat menyerap anak-anak usia sekolah untuk memperoleh pendidikan dasar.

Pemerintah Kota Semarang sudah mengalokasikan anggaran dari APBD untuk program sekolah gratis. Pada jenjang SD, pemkot mengalokasikan subsidi sebesar Rp. 14.000,00/siswa/bulan. Sedang untuk jenjang SMP Pemkot menganggarkan subsidi sebesar Rp. 33.500,00/siswa/bulan. Dari subsidi tersebut kemudian ditambah dengan bantuan BOS, menurut perhitungan secara otomatis SD dan SMP Negeri sudah gratis.

Sedangkan untuk SD dan SMP Swasta sifatnya masih berupa bantuan. Untuk jenjang SD swasta, di samping mendapatkan BOS, Pemkot juga akan memberikan subsidi sebesar Rp. 14 ribu/siswa/bulan dan SMP Rp. 20 ribu/siswa/bulan.

Tidak Diskriminatif

Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Kota Semarang, Drs. Ragil Wiratno, MH. Mengakui rencana sekolah gratis yang digulirkan Pemkot semarang itu baik dan perlu didukung. Namun, pelaksanaannya harus mengacu pada amanat amandemen UUD 1945 pasal 31 ayat 2, Di sana disebutkan bahwa pemerintah wajib membiayai wajib belajar sembilan tahun. Artinya, seluruh siswa SD-SMP baik negeri maupun swasta itu digratiskan, tidak bleh dipungut biaya karena semua biaya itu ditanggung oleh pemerintah.

Akan tetapi apabila pemerintah tidak mampu karena anggaran APBD yang terbatas, Ragil menyarankan pelaksanaan sekolah gratis diatur secara berkeadilan. Anggaran yang ada digunakan untuk membiayai siswa yang benar-benar kurang mampu baik negeri maupun swasta secara tepat sasaran, mengingat banyak siswa kaya yang bersekolah di sekolah negeri. Sebaliknya banyak juga siswa dari keluarga tidak mampu yang terpaksa bersekolah di sekolah swasta. “Jadi, pemerintah jangan memikirkan sekolahnya tetapi harus memikirkan siswanya. Siswa negeri dan swasta yang tidak mampu itu dibiayai dulu, sedangkan siswa yang mampu jangan dahulu”, tambahnya.

Senada dengan Ragil, Kepala SMP Putra Nusantara, Nur Solikhin, SH berpendapat bahwa program sekolah gratis harus dipilah-pilah pelaksanaannya. Tidak semua siswa digratiskan,tetapi mereka yang benar-benar tidak mampu lah yang memperoleh program ini.

Pakar Pendidikan Dari Universitas Negeri Semarang, Drs. Wagiran, M.Hum, menyarankan sebelum program sekolah gratis dilaksanakan, harus dilakukan pendataan dan analisis mendalam dengan perhitungan yang matang akan kondisi riil di lapangan, sehingga program ini tidak salah sasaran. Dia melihat bahwa sesungguhnya yang membutuhkan bantuan adalah siswa sekolah swasta. Sedangkan sekolah negeri, terutama yang favorit tidak membutuhkan bantuan karena didominasi siswa dari keluarga kaya.

Imbas Sekolah Gratis

Bagi sekolah-sekolah negeri, rencana sekolah gratis tidak akan membawa dampak yang merugikan, karena praktis semua komponen pembiayaan operasional sekolah sudah ditanggung oleh pemerintah. Sedangkan bagi sekolah-sekolah swasta, “kampanye sekolah gratis”, yang sedemikian gencar akan membuat mereka semakin terpuruk. Nur Solikhin, melihat kebijakan ini bisa berdampak semakin terpinggirkannya sekolah-sekolah swasta yang selama ini sudah memberikan andil ikut mencerdaskan bangsa. Menurutnya, masyarakat akan berbondong-bondong datang ke sekolah negeri, karena mereka menganggap sekolah-sekolah negeri itu gratis untuk siapa saja. Dampaknya sekolah swasta akan ditinggalkan oleh masyarakat, karena sekolah swasta tentu saja tidak bisa menerapkan kebijakan ini, mengingat komponen pembiayaan operasional, gaji guru dan sarana prasarana harus ditanggung sendiri oleh sekolah dan siswa.

BMPS sebagai organisasi yang menaungi lembaga pendidikan swasta tentu saja tidak akan berdiam diri. Menurut Ragil Wiratno, BMPS terus berusaha memberikan pencerahan kepada pemerintah kota yang akan melaksanakan kebijakan ini. BMPS mengingatkan apabila pelaksanaan sekolah gratis itu tidak berkeadilan, maka BMPS akan menyatakan keberatan.

“Di samping itu BMPS juga menghimbau agar pengelolaan sekolah-sekolah swasta dilakukan secara professional. Sehingga mampu menunjukan kualitas yang tidak kalah dari sekolah negeri. Saat ini sudah banyak muncul lembaga-lembaga pendidikan swasta yang mutunya jauh lebih baik dari sekolah-sekolah negeri, “ ujarnya. (Tim-WARNA)

PRO KONTRA SEKOLAH GRATIS

Di tengah semakin melambungnya biaya pendidikan, pemerintah kota Semarang mengumumkan sebuah rencana hebat, yakni program sekolah gratis untuk sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah pertama. Rencana ini, serta merta mendapat sambutan dari masyarakat. Banyak yang optimis program tersebut dapat menjadi embun penyejuk dahaga. Namun ada yang pesimis menganggap program tersebut sebagai sekadar fatamorgana di padang gersang belaka.

Menurut Achmadi, Ketua Komisi D DPRD Kota Semarang, rencana kebijakan sekolah gratis yang akan berlaku mulai tahun pelajaran 2008/2009, tidak hanya berlaku untuk sekolah negeri. Tetapi pada saat yang sama, sekolah swasta juga akan memperoleh subsidi dari APBD 2008. Pemberlakuan sekolah gratis untuk negeri dan subsidi untuk swasta itu merupakan hasil keputusan panitia anggaran (panggar), yang membahas Kebijakan Umum Anggaran-Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS).

Menurutnya, pendidikan adalah hak dasar warga negara dan merupakan kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakannya. Sehingga rencana sekolah gratis diharapkan dapat menyerap anak-anak usia sekolah untuk memperoleh pendidikan dasar.

Pemerintah Kota Semarang sudah mengalokasikan anggaran dari APBD untuk program sekolah gratis. Pada jenjang SD, pemkot mengalokasikan subsidi sebesar Rp. 14.000,00/siswa/bulan. Sedang untuk jenjang SMP Pemkot menganggarkan subsidi sebesar Rp. 33.500,00/siswa/bulan. Dari subsidi tersebut kemudian ditambah dengan bantuan BOS, menurut perhitungan secara otomatis SD dan SMP Negeri sudah gratis.

Sedangkan untuk SD dan SMP Swasta sifatnya masih berupa bantuan. Untuk jenjang SD swasta, di samping mendapatkan BOS, Pemkot juga akan memberikan subsidi sebesar Rp. 14 ribu/siswa/bulan dan SMP Rp. 20 ribu/siswa/bulan.

Tidak Diskriminatif

Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Kota Semarang, Drs. Ragil Wiratno, MH. Mengakui rencana sekolah gratis yang digulirkan Pemkot semarang itu baik dan perlu didukung. Namun, pelaksanaannya harus mengacu pada amanat amandemen UUD 1945 pasal 31 ayat 2, Di sana disebutkan bahwa pemerintah wajib membiayai wajib belajar sembilan tahun. Artinya, seluruh siswa SD-SMP baik negeri maupun swasta itu digratiskan, tidak bleh dipungut biaya karena semua biaya itu ditanggung oleh pemerintah.

Akan tetapi apabila pemerintah tidak mampu karena anggaran APBD yang terbatas, Ragil menyarankan pelaksanaan sekolah gratis diatur secara berkeadilan. Anggaran yang ada digunakan untuk membiayai siswa yang benar-benar kurang mampu baik negeri maupun swasta secara tepat sasaran, mengingat banyak siswa kaya yang bersekolah di sekolah negeri. Sebaliknya banyak juga siswa dari keluarga tidak mampu yang terpaksa bersekolah di sekolah swasta. “Jadi, pemerintah jangan memikirkan sekolahnya tetapi harus memikirkan siswanya. Siswa negeri dan swasta yang tidak mampu itu dibiayai dulu, sedangkan siswa yang mampu jangan dahulu”, tambahnya.

Senada dengan Ragil, Kepala SMP Putra Nusantara, Nur Solikhin, SH berpendapat bahwa program sekolah gratis harus dipilah-pilah pelaksanaannya. Tidak semua siswa digratiskan,tetapi mereka yang benar-benar tidak mampu lah yang memperoleh program ini.

Pakar Pendidikan Dari Universitas Negeri Semarang, Drs. Wagiran, M.Hum, menyarankan sebelum program sekolah gratis dilaksanakan, harus dilakukan pendataan dan analisis mendalam dengan perhitungan yang matang akan kondisi riil di lapangan, sehingga program ini tidak salah sasaran. Dia melihat bahwa sesungguhnya yang membutuhkan bantuan adalah siswa sekolah swasta. Sedangkan sekolah negeri, terutama yang favorit tidak membutuhkan bantuan karena didominasi siswa dari keluarga kaya.

Imbas Sekolah Gratis

Bagi sekolah-sekolah negeri, rencana sekolah gratis tidak akan membawa dampak yang merugikan, karena praktis semua komponen pembiayaan operasional sekolah sudah ditanggung oleh pemerintah. Sedangkan bagi sekolah-sekolah swasta, “kampanye sekolah gratis”, yang sedemikian gencar akan membuat mereka semakin terpuruk. Nur Solikhin, melihat kebijakan ini bisa berdampak semakin terpinggirkannya sekolah-sekolah swasta yang selama ini sudah memberikan andil ikut mencerdaskan bangsa. Menurutnya, masyarakat akan berbondong-bondong datang ke sekolah negeri, karena mereka menganggap sekolah-sekolah negeri itu gratis untuk siapa saja. Dampaknya sekolah swasta akan ditinggalkan oleh masyarakat, karena sekolah swasta tentu saja tidak bisa menerapkan kebijakan ini, mengingat komponen pembiayaan operasional, gaji guru dan sarana prasarana harus ditanggung sendiri oleh sekolah dan siswa.

BMPS sebagai organisasi yang menaungi lembaga pendidikan swasta tentu saja tidak akan berdiam diri. Menurut Ragil Wiratno, BMPS terus berusaha memberikan pencerahan kepada pemerintah kota yang akan melaksanakan kebijakan ini. BMPS mengingatkan apabila pelaksanaan sekolah gratis itu tidak berkeadilan, maka BMPS akan menyatakan keberatan.

“Di samping itu BMPS juga menghimbau agar pengelolaan sekolah-sekolah swasta dilakukan secara professional. Sehingga mampu menunjukan kualitas yang tidak kalah dari sekolah negeri. Saat ini sudah banyak muncul lembaga-lembaga pendidikan swasta yang mutunya jauh lebih baik dari sekolah-sekolah negeri, “ ujarnya. (Tim-WARNA)